ROMANSA CINTA JAMAN BAHELA (Novel HAL 1)
ceritaku novel
Murtini, Sebuah nama sederhana yang sekaligus nama ibu kandungku yang begitu keras dalam bekerja. Beliau dilahirkan dalam keluarga yang sangat sederhana. Emak biasa aku menyebutnya, sering bercerita kepadaku kalau sejak kecil beliau ikut simbahnya emak karena saking miskinnya ibu dan bapaknya emak. Orangtua emak bekerja sebagai buruh serabutan yang upahnya hanya cukup untuk membeli beras satu kantong plastik kecil.
Sambil mencari kutu dikepalaku emak menceritakan masa kecilnya dengan penuh ingatan emosional. “Emak dulu waktu kecil ikut embah, embah orangnya baik selalu ngajak aku kesawah dan makan nasi. Kalau ikut emak, paling banter bisa makan singkong aja sudah syukur” tuturnya sambil terus mencari kutu dikepalaku yang membuat gatal kepala ini.
Semasa kecil, emak juga seperti anak anak kecil lainnya yang periang dan suka bermain pasar – pasaran, yaitu permainan jual beli dengan menggunakan dedaunan sebagai pengganti uang. Emak sempat mengenyam pendidikan namun hanya sampai kelas 2 Sekolah Dasar karena orang tua emak tidak mampu membayar biaya sekolah. Mungkin karena itulah emakku sekarang jadi penjual ayam di pasar.
Perjalanan emak dari gubuknya ke sekolah sangatlah jauh dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Melewati jalanan terjal yang masih berhias bebatuan dan persawahan yang masih banyak diisi oleh binatang binatang buas seperti ular, babi hutan dan lain lain.
Karena Orang Tua dan mbah Emak gak mampu bayar keperluan sekolah, beliau putus sekolah dan akhirnya memutuskan untuk bekerja pada usia yang sangat sangat kecil. anak kelas 2 SD sekitar usia 10 Tahun sudah kerja. Iya emak kerja jadi pembantu rumah tangga buat tetangga tetangga emak di kampung. Entah bersihin rumah, nyuci baju atau ngemong bayi (pengasuh bayi).
“Kamu dan Mas Masmu itu masih beruntung bisa sekolah, Mas bowo sekarang sudah kelas 3 SMP, Mas Budi kelas 4 SD, Besok kamu mau Masuk TK. Yang pinter yaa kalau sekolah, jangan kayak emak dan bapakmu”. Cetusnya dengan tangan yang masih mencari kutu dan mulut yang tak berhenti membunuh kutu yang didapatkannya.
Emak adalah pencari kutu yang ulung, beliau suka sekali sehabis pulang dari pasar duduk disampingku dan mengecek kondisi rambutku masih ada kutu atau tidak. Teknik mencari kutu hanya menggunakan jari jemarinya dan emak mempunyai teknik membunuh kutu yang antimainstream yaitu dengan mengigit kutu. “Cetuk cetuk” bunyinya kalau didengar secara seksama, dan emak langsung membuang kutu dari giginya itu setelah kutunya mati. Memang sedikit jorok sih, namun emak menyukai bunyi “cetuk cetuk” kalau ada kutu yang mati dengan gigitannya itu.
“Mak, emak enggak jijik tah makan kutu itu?” Tanyaku polos.
“Hahaha, ini gak aku makan Dan, ini Cuma aku gigit kutunya biar mati, seneng aku dengerin bunyi cetuk cetuk kalau kutunya aku gigit, Mbahmu dulu juga begini kalau matiin kutu kok Dan, ini gak aku makan, cuma aku gigit dan membuatnya mati biar kepalamu gak gatal gatal lagi”. Penjelasan emak yang panjang kali lebar.
Hampir setiap hari saat aku mau masuk TK sampai aku sudah masuk Sekolah Dasar favorite di Desaku, rutinitas mencari kutu ini selalu emak lakukan kepadaku, selain untuk membasmi kutu di kepalaku ini, hal ini juga membuat aku dan Emak Murtini semakin dekat.
Emak adalah orang yang pasrah dan bisa aku katakan sebagai wanita yang selalu menerima semua cobaan dengan tabah. Emak dinikahkan oleh orang tuanya atau mbahku disaat umurnya sangatlah muda sekitar umur 13 tahun. Si Mbah berharap ada sosok lelaki yang siap bertanggung jawab kepada emak dan membuat hidup emak menjadi lebih baik daripada yang dulu emak alami.
Akhirnya emak diperkenalkan dengan bapakku oleh majikannya, sebut saja Soebroto seorang remaja ceking yang kala itu masih 15 Tahun yang siap menikahi emak Murtini yang juga sangatlah muda untuk menjalin sebuah bidak rumah tangga. Mbah Ru yang adalah majikannya
Tak perlu menunggu waktu lama akhirnya emak dan bapak dinikahkan di usia yang sangat sangat muda.
Begitulah orang jaman dahulu apalagi dikampung, anak yang seharusnya belajar dan bermain malah bekerja dan dinikahkan semuda itu.
By : Dany Tri Kusuma